Selasa, 16 November 2010

MK Psikologi Pendidikan


Tugas MK Psikologi Pendidikan 

BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap. Dalam proses ini perubahan tidak terjadi sekaligus tetapi terjadi secara bertahap tergantung pada faktor-faktor pendukung belajar yang mempengaruhi siswa. Faktor-faktor ini umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern berhubungan dengan segala sesuatu yang ada pada diri siswa yang menunjang pembelajaran, seperti inteligensi, bakat, kemampuan motorik pancaindra, dan skema berpikir. Faktor ekstern merupakan segala sesuatu yang berasal dari luar diri siswa yang mengkondisikannya dalam pembelajaran, seperti pengalaman, lingkungan sosial, metode belajar-mengajar, strategi belajar-mengajar, fasilitas belajar dan dedikasi guru. Keberhasilannya mencapai suatu tahap hasil belajar memungkinkannya untuk belajar lebih lancar dalam mencapai tahap selanjutnya.
Secara umum inteligensi itu pada hakikatnya adalah merupakan suatu kemampuan umum untuk memperoleh sesuatu kecakapan yang mengandung berbagai komponen. Kemampuan individu biasanya dipergunakan instrumen tes inteligensi. Tes Inteligensi sebagai suatu instrumen tes psikologi dapat menyajikan fungsi-fungsi tertentu.

  1. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalahnya adalah :
    1. Apakah yang di maksud dengan belajar, inteligensi dan bakat?
    2. Apakah perbedaan inteligensi dan IQ?
    3. Faktor-faktor apa saja yamg menghambat belajar?
    4. Apa hubungan bakat dengan otak manusia

BAB II
PEMBAHASAN
  1. INTELIGENSI
1.      PENGERTIAN
Intelegensi berasal dari bahasa Latin Intelligere yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain (to organized, to relate, to bind together). Istilah inteligensi kadang-kadang atau justru sering memberikan pengertian yang salah, yang memandang inteligensi sebagai kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli inteligensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun demikian pengertian inteligensi itu sendiri memberikan berbagai macam arti bagi para ahli.
Menurut panitia istilah Padagogik (1953) yang mengangkat pendapat Stern yang dimaksud dengan inteligensi adalah “daya menyesuaiakan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat  berpikir menurut tujuan”.
Dari pengertian itu dapat dilihat bahwa Stern menitikberatkan inteligensi pada soal adjustment atau penyesuaian diri terhadap masaalah yang dihadapinya. Pada orang yang inteligen akan lebih cepat dalam memecahkan masalah-masalah baru apabila dibandingkan dengan orang yang kurang inteligen.  Dalam menghadapi masalah  atau situasi baru orang yang inteligen akan cepat dalam mengadakan adjustment terhadap masalah atau situasi yang baru tersebut.
Thorndike (lih. Skinner, 1959) sebagai seorang tokoh koneksionisme memengemukakan pendapatnya bahwa “Intelligence is demonstrable in ability of the individual to make good responses from the stand point of truth or fact”. Orang dianggap inteligen apabila responsnya merupakan  respons yang baik atau sesuai terhadap stimulus yang diterimanya. Untuk memberikan respons yang tepat, individu harus memiliki lebih banyak hubungn stimulus-respons, dalam hal tersebut harus diperoleh dari hasil pengalaman yang di perolehnya dan hasil respons-respons yang lalu.
Terman memberikan pengertian inteligensi sebagai “....the ability to carry on abstract thinking” (lih. Harriman, 1958). Terman membedakan adanya ability yang berkaitan dengan hal-hal yang kongkrit, dan ability yang berkaitan dengan hal-hal yang abstrak. Individu itu inteligen apabila dapat berpikir secara abstrak secara baik. Ini berarti bahwa apabila individu kurang mampu berpikir abstrak, individu yang bersangkutan inteligensinya kurang baik.
Freeman memandang inteligensi sebagai (1) capacity to integrate experience; (2) capacity to learn; (3) capacity to perform tasks regarded by psychologist  as intellectual; (4) capacity to carry on abstract thinking”
(Freeman, 1959)
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Dari bermacam-macam pendapat para ahli tersebut di atas, memberikan gambaran tentang ragamnya pengertian atau definisi inteligensi itu. Menurut Morgan, dkk. (1984) ada dua pendekatan pokok  dalam memberikan definisi mengenai inteligensi itu, yaitu (1) pendekatan yang melihat faktor-faktor yang membentuk inteligensi itu, yang sering disebut sebagai pendekatan faktor atau teori faktor, dan (2) pendekatan ynag melihat sifat proses  intelektual itu sendiri, yang sering dipandang sebagai teori orientasi-proses (process-oriented theories).
2.      FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTELIGENSI
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi, sehingga terdapat perbedaan  inteligensi seseorang dengan orang lain, ialah :
a.       Pembawaan : pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan cirri-ciri yang dibawa sejak lahir. “batas kesanggupan kita”, yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal, pertama-tama ditentukan oleh pembawaan kita.  Orang itu ada yang pintar dan ada yang bodoh. Meskipun menerima latihan dan pelajaran yang sa,ma, perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.
b.      Kematangan : tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuha dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupn psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Anak-anak tak dapat memechkan soal-soal tertentu, karena soal-soal itu masih terlampau sukar baginya. Organ-organ tubuhnya dan fungsi-fungsi jiwanyamasih belum matang untuk melakukan mengenai soal itu. Kematangan berhubungan erat dengan umur.
c.       Pembentukan : pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
d.      Minat dan pembawaan yang khas : minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan (motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan duna luar . motif menggunakan dan menyelidiki  dunia luar (manipulate and exploring motives). Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan timbullah minat terhadap sesuatu. Apa yang menarik minat seseorang mendorobgnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
e.       Kebebasan : kebebasan bearti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya. Dengan adnya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam perbuatan inteligensi.
Semua faktor tersebut di atas bersangkut paut satu sama lain. Untuk menentukan intelijen atau tidaknya seorang anak, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu factor tersebut diatas. Inteligensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan inteligensi seseorang.
3.      INTELIGENSI DAN IQ
Orang sering menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi di jelaskan didepan, sedangkan IQ atau tingkatan Intelligence Qoutient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara menyeluruh.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Cronologic Age).
Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoaln yang disajikan dala tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
4.      PENGUKURAN INTELIGENSI
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik.
Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.

  1. BAKAT
1.        DEFINISI DAN SEJARAH BAKAT
Bakat (aptitude) yang mengandung makna kemampuan bawaan yang merupakan potensi (potential ability) yang masih perlu pengembanagn dan latihan lebih lanjut. Karena sifatnya yang masih bersifat potensial atau masih laten, bakat merupakanpotensi yang masih memerlukan iktiar pengembangan dan pelatihan secara serius dan sistmatis agar dapat terwujud (Utami Munandar,1992). Bakat berbeda dengan kemampuan (ability) yang mengandung makna sebagai daya untuk melakukan sesuatu, sebagai hasil pembawaan dan latihan. Bakat juga berbeda dengan kapasitas (capacity) dengan sinonimnya, yaitu kemampuan yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang apabila latihan di lakukan secara optimal (Conny Semiawan, 1987). Dengan demikian, dapat disarikan bahwa bakat masih merupakan suatu potensi yang akan muncul setelah memperoleh pengembangan dan latihan. Adapun kemampuan dan kapasitas sudah merupakan suatu tindakan yang dapat  di laksanakan dan akan dapat di laksanakan
Definisi bakat yang ditegakkan dalam koridor gugus utama umumnya mengacu pada dua pemahaman. Bakat adalah bawaan, given from God, dan bakat adalah sesuatu yang dilatih. Sebelum memahami beberapa definisi dan pendekatan bakat yang juga diungkapkan beberapa ahli, ada baiknya kita yakini satu hal: yakin dan percayalah bahwa setiap insan di muka bumi ini telah memiliki bakat berupa anugerah cuma- cuma dari Sang Maha Kuasa.
Jadi, yang disebut  bakat adalah kemampuan alamiah untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus(Conny Semiawan, 1987. bakat umum apabila kemampuan yang berupa potensi tersebut bersifat umum. Misalnya bakat intelektual secara umum, sedangkan bakat khusus apabila kemampuan yang berupa potensi tersebut bersifat khusus, misalnya bakat akademik, sosial, dan seni kinestik. Bakat khusus ini biasanya ini biasanya disebut dengan talent, sedangkan bakat umum (intelektual) sering disebut dengan istilah gifted. Oleh karena itu, anak  yang memeiliki bakat khusus menonjol sering disebut dnegna istilah  talented children, sedangkan anak yang memiliki bakat intlektual yang menonjol sering disebut dengna istilah gifted children.
Kita mengenal“Empat karunia Ilahi”(Human Endowent), atau bakat alami, yakni kesadaran diri (self awarness), imajinasi (creative imagination), hati nurani (conscience), dan kehendak bebas (independent will). Tanggung jawab utama manusia sebagai penerima mandat itu adalah memberdayakan keempat bakat alami atau talenta atau karunia tersebut secara maksimal dan optimal. Beberapa istilah kerapdipakai berbicara secara spesifik, antara lain aptitude, talent/talenta, intelligence/inteligensi/kecerdasan, gifted/giftedness, dan sebagainya.
Pada dasarnya istilah-istilah tersebut membawa makna bakat yang berkembang sesuai kebutuhan dan kepentingan. Namun sama-sama mengandung unsur bakat bawaan dan latihan. Misalnya yang dikemukakan Renzulli (1981), bakat merupakan gabungan dari tiga unsur esensial yang sama pentingnya dalam menentukan keberbakatan seseorang, yaitu :
1)      Kecerdasan
Kecerdasan, beserta aspek-aspeknya dapat diukur dengan peranti atau tes psikologi, termasuk kemampuan intelektual umum dan taraf inteligensi. Aspek-aspek kemampuan intelektual, antara lain mencakup logika abstrak, kemampuan verbal, pengertian sosial, kemampuan numerik, kemampuan dasar teknik dan daya ingat/ memori.
2)      Kreativitas
Kreativitas, menurut Guilford (1956), dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan tugas.
3)      Tanggung jawab
Tanggung jawab, merupakan pembuktian atau tindakan nyata dari kecerdasan dan kreativitas seseorang terkait dengan pemberdayaan dirinya serta kontribusi bagi kehidupan sosial dan kemanusiaan.
Sedikitnya ada sembilan kecerdasan atau bakat yang mungkin dimiliki seseorang, yakni logical mathematical, linguistic/verbal, visual spatial, musical, bodily-kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, natural, dan moral/ spiritual. Teori Gardner ini menjadi pegangan bahwa setiap orang memiliki bakat unik dan berbeda. Orang tidak dapat dipaksa berprestasi di luar bakat khusus yang paling menonjol pada dirinya.
2.        BAKAT DAN OTAK MANUSIA
Beberapa pendekatan sebelumnya merupakan pemahaman lama yang masih tetap dapat dianut karena belum usang. Khususnya dalam hal penelusuran minat-bakat dan pengembangan alat tes bakat.
Sejak Prof Roger Sperry, penerima Nobel tahun 1981 melalui penelitian panjangnya bertahun-tahun, mengungkapkan hasil temuannya tentang gelombang otak, maka paradigma baru muncul dan berkembang. Hipotesisnya telah dibuktikannya sendiri bahwa setiap aktivitas yang berbeda memunculkan gelombang otak yang berbeda pula. Temuan ini sungguh-sungguh mengubah cara pandang tentang potensi dan kreativitas otak manusia.
Hal yang mengejutkan, rata-rata otak membagi kegiatannya secara jelas ke dalam kegiatan “otak belahan kiri” (korteks kiri) dan kegiatan “otak belahan kanan” (korteks kanan).Saat korteks kanan sedang aktif, korteks kiri cenderung tenang atau istirahat, demikian sebaliknya.
Kegiatan yang paling mudah diamati tentang pergantian aktivitas otak adalah saat kita berjalan. Kaki kanan digerakkan oleh aktivitas otak belahan kiri, saat kaki kiri bergerak otak belahan kanan mengambil alih. Setiap otak memiliki keterampilan yang khas dalam urutan kerja yang sangat rapi.
Kondisi penuh harapan dari olahan dan kembangan penemuan ini adalah setiap orang memiliki banyak sekali keterampilan intelektual, berpikir, dan kreativitas, yang belum digunakan sepenuhnya. Mengacu pada beberapa definisi bakat terdahulu, jelas bahwa bakat-bakat yang dipenuhi oleh potensi intelektual, keterampilan dan kreativitas masih dapat terus digali dari diri kita.
Hal ini memberikan harapan besar dan makna sangat dalam, yakni kita tidak pernah menduga bahwa ternyata kita bukannya tidak berbakat menggambar atau tidak berbakat matematika. Yang terjadi adalah kita tidak memberi kesempatan pada kedua belahan otak untuk menggali diri dan unjuk maksimal.
Orang cenderung bukannya menggali dan memaksimalkan fungsi perbedaan kegiatan otak belahan kanan dan kiri, namun justru membatasi. Diketahui bahwa otak belahan kiri melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan logika, analisis, kuantitatif, fakta, rencana, organisasi, detail/perinci, sekuensial.
Tugas otak belahan kanan berhubungan dengan sifat keseluruhan, intuitif, sintesis, integrasi, emosi, interpersonal, perasaan, kinestetik. Pembagian aktivitas ini melahirkan label bahwa seniman berotak kanan sedangkan ilmuwan adalah orang-orang otak kiri. Maka manusia pun seolah terbagi dikotomis, orang otak kiri dan orang otak kanan. Betulkah?
Jangan pernah menggolongkan Albert Einstein sebagai orang berotak kiri. Ia adalah manusia jenius yang berhasil menggali dan memaksimalkan fungsi kedua belahan otaknya, sehingga melahirkan teori relativitas yang luar biasa itu. Awalnya Einstein membiarkan otak belahan kanan melakukan aktivitas imajinasi tentang sebuah perjalanan di permukaan matahari. Singkat cerita, perpaduan daya imajinasi dan hal lain yang dilakukan belahan kanan, serta kemampuan matematika, berpikir sistematis dan hal lain yang dilaksanakan belahan kiri, membawa dirinya pada sebuah temuan spektakuler yang maha dahsyat. Bakat, tidak semata-mata hasil ciptaan yang mencuat secara seragam pada kesempatan berbeda, tidak pula yang hanya digambarkan oleh atribut profesi dan pekerjaan.
Apa yang terjadi? Ternyata tangan kita yang satu itu berbakat menulis juga. Hanya saja tangan yang satu lagi sudah telanjur dominan dalam latihan bertahun-tahun sejak kita belajar menulis. Betul?

3.        FAKTOR-FAKTOR YANG DIUNGKAP TES BAKAT
1.      Kemampuan verbal. Kemampuan memahami dan menggunakan bahasa baik secara lisan maupun tulisan
2.      Kemampuan numerikal. Kemampuan ketepatan dan ketelitian memecahkan problem aritmatik atau konsep dasar berhitung
3.      Kemampuan spasial. Kemampuan merancang suatu benda secara tepat
4.      Kemampuan perseptual. Kemampuan mengamati dan memahami gambar 2 dimensi menjadi bentuk 3 dimensi
5.      Kemampuan reasoning. Kemampuan memecahkan suatu masalah
6.      Kemampuan mekanik. Kemampuan memahami 2 konsep mekanik dan fisika
7.      Kemampuan memori. Kemampuan mengingat
8.      Kemampuan klerikal. Kemampuan bekerja di bidang administrasi
9.      Kemampuan kreativitas. Kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru dan menunjukkan hal yang tidak biasa / istimewa
10.  Kecepatan kerja. Kemampuan bekerja secara cepat terutama untuk pekerjaaan yang rutin
11.  Ketelitian. Kemampuan bekerja secara teliti
12.  Ketahanan. Kemampuan bekerja secara konsisten
Guildford (Sunaryo, 2004) mengemukakan bahwa terdapat tiga dimensi yang terkandung dalam bakat, yaitu sebagai berikut:
1.      Dimensi perseptual, yaitu kemampuan di dalam melakukan persepsi yang mencakup kepekaan indra, perhatian, orientasi ruang dan waktu serta kecepatan persepsi.
2.      Dimensi psikomotor, mencakup kekuatan, impuls, kecepatan gerak, kecermatan dan kordinasi.
3.      Dimensi intelektual, mencakup ingatan, pengenalan, berpikir dan evaluatif.
4.        KETERBATASAN TES BAKAT
Tes bakat memiliki keterbatasan sebagai berikut, yaitu
1.      Tes bakat hanya mengukur sampel perilaku yang ditunjukkan atau sampel butir tes.
2.      Standardisasi tes tergantung pada keadaan sampel standardisasi. Dengan demikian perkembangan budaya dan kemajuan teknologi akan mempengaruhi validitas tes.
3.      Realibilitas tes jarang mempunyai koefisien reliabilitas sama dengan satu, hal ini berarti testing lebih satu kali pada individu tidak akan menunjukkan hasil yang sama persis.
Dengan pengukuran bakat bukan berarti telah memahami kondisi psikologi seseorang secara komprehensif. Untuk tujuan diagnosis dan prediksi, akan lebih akurat jika dilakukan pengukuran aspek untuk secara komprehensif

5.        MACAM-MACAM TES BAKAT
1.      Kelompok Single Test. Tes bakat yang terdiri dari satu jenis tes dan pada umumnya mengungkap kemampuan khusus yang dimiliki seseorang, antara lain: tes sensori, tes artistik, tes klerikal, tes kreativitas, tes Kraepelin dan tes Pauli.
2.      Kelompok Baterai Tes. Tes bakat yang terdiri dari rangkaian bermacam-macam tes yang masing-masing tes dapat berdiri sendiri, artinya tidak harus digunakan secara keseluruhan. Misalnya: FACT, DAT dan GATB.
  1. BELAJAR
1.      PENGERTIAN
Sebagai landasan penguraian mengenai apa yang di maksud dengan belajar, terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa definisi :
a.       Hilgar dan bower, dalam bukunya Theories of learning(1975) mengemukakan. “belajar berhubunga denga perubahan tingkah laku seseorang tehadap sesuatu sitasi tertentu yang idsebabkna olehpengalamnya yang berulang-ulang dalm situasi itu, dimna perbahan tingkah laku itu tidak apat dijelaskan atau dasar kecenderungan respo pembawaan, klematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya).”
b.      Gagne, dalam bukunya the Conditions of leraning (1977) menyatakan bahwa : “ belajar terjadi apabilasuatu situasi stimulus bersama dengan ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa shingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasitadi.
c.       Morgan, dalam bkunya introduction to psychology (1978) mengemukakan : “ belajar adalah setiap perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku yag terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau penfgalaman.”
d.      Witherington, dalam buku educational psychology.mengemukaakan : “ belajar adalah suatu perubahan didala kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapn, sikap, kebiasaan, kepandaian, tau suatu pengertian.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.
2.      FAKTOR-FAKTOR YANG MENUNJANG DAN MENGHAMBAT BELAJAR
Sebenarnya seluruh siswa sanggup menguasai bahan pelajaran tertentu asal ia memeuhi syarat – syarat tertentu. Sehubungan dengan itu S. Nasution (1982:3) menyebutkan bahwa :” … setiap orang dapat mempelajari bidang studi apapun sehingga batas yang tinggi asal diberi waktu yang cukup disamping syarat – syarat lain … yang menjadi persoalan disini adalah apakah seseorang rela untuk mengorbankan waktu yangbegitu banyak agar mencapai tingkat penguasaan tertentu. Persoalannya ialah bagaimana caranya agar waktu itu dipersingkat”.
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, tersirat bahwa salah satu penunjang dan mungkin yang menjadi penghambat adalah masalah pemberian dan penggunaan waktu. Jika siswa diberi waktu yang cukup dan ia memanfaatkan waktu tersebut dengan baik maka ia akan sanggup menguasai berbagai mata pelajaran. Sebaliknya bila siswa tersebut diberi waktu yang cukup namun tidak bisa memanfaatkan waktu tersebut dengan baik maka ia akan mengalami hambatan dalam belajar.
Mutu pengerjaan dapat menunjang dan menghambat belajar siswa, bila mutu pelajaran itu rendah. Pengajaran klasikal yang sekarang kita lakukan kurang memperhatikan perbedaan individu siswa, karena besarnya jumlah penduduk (peserta didik) yang wajib mengikuti pelajaran di negara Republik Indonesia tercinta ini. Di Indonesia hal ini tidak mungkin terpenuhi karena keterbatasan sarana yang dibutuhkan dan keterbatasan lainnya.
Sebenarnya pengajaran klasikal tak dapat tiada menimbulkan kerugian bagi kepentingan anak sebagai individu dalam belajar … ,demikian dikemukanan S. Nasution (1982:40). Setelah diamati dan diperhatikan pada dasarnya para siswa belajar secara berkelompok, akan tetapi secara individual, menurut caranya masing – masing sekalipun ia berada dalam kelas ataupun kelompok. Itu sebabnya setiap anak memerlukan bantuan individual. Kelemahan pengajaran kita ialah kurangnya ussaha guru memberi perhatian kepada perbedan individual ini, sehingga selalu banyak jumlah dari murid – murid yang tak mencapai penguasaan penuh.
Metode pengajaran yang digunakan guru dapat menunjang dan juga dapat menghambat nbelajar siswa. Oleh karena itu guru dituntut mahir dalam memilih dan melaksanakan metode mengajar yang tepat. Sebab jika tidak dapat akan menyebabkan gagalnya pencapaian belajar siswa. Sejalan dengan ini Abu Achmadi (1985:61) mengatakan bahwa : “Metode mengajar memang besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar anak – anak. Bilamana pengajaran diberikan tanpa tujuan dan segala sesuatu yang didasarkan hafalan diluar kepala saja tanpa pengertian yang bermanfaat bagi sianak, semangat belajar anak akan menjadi lemah, sebaliknya anak akan terdorong semangatnya dalam belajar serta akan tertarik pada suatu pelajaran yang diberikan dengan tujuan yang jelas, sehingga pada anak akan timbul kesadaran bahwa pelajaran itu besar artinya bagi perkembangan jiwanya… pendapt diatas memberi isyarat bahwa guru harus benar – benar mahir dalam memilih, menentukan dan menggunakan metode mengajar, agar para siswa dapat bergairah belajar untuk mencapai tujuan, sehingga para siswa menyadari akan arti pentingnya belajar dalam kehidupan.
Guru bisa menjadi salah satu faktor penyebab gagalnya berhasilnya belajar sswa, kalau guru tersebut tidak menyadari tindakannya, atau selalu membuat siswa itu merasa takut terhadapnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kurt Singer (1987:13) “tanpa menyadari tindakannya…. Turut merupakan faktor penyebab karena kebutuhannya tentang dasar –dasar psikohigienis dalam pelajaran. Misalnya saja , para guru masih juga belum memahami dengan sendirinya bahwa rasa tkut itu membuat orang menjadi bodoh. Seorang anak dapat mengembangkan kemampuan – kemampuan intelektualnya hanya jika ia diberi kesempatan untuk bekerja tanpa harus disertai rasa takut”.
Dengan demikian guru dalam mengajar hendaknya menciptakan suasana harmonis (Hubungan baik dengan siswa) sehingga ketegangan atau ketakutan pada diri siswa dapat dihindari sebab hal itu berakibat fatal terhadap upaya pencapaian belajar yang baik.
Salah satu cara untuk memperoleh keberhasilan belajar, maka lingkungan harus mendukung jangan sampai terlalu saklek menekankan ketertiban dan keberhasilan secara tidak wajar (bahkan berbau intimidasi kepada peserta didik), oleh sebab itu dapat menyebabkan hambatan dalam belajar.
Aspek lain yang bakal menghambat aktifitas belajar siswa adalah kurangnya alat –alat pelajaran, sebab dalam melaksanakan kegiatan belajar diperlukan banyak sekali alat – alat yang terkait dengan KD dan SK-nya, sehubungan dengan ini Oemar Hamalik (1975:144) menyatakan : … tanpa alat – alat itu maka pada dasarnya pelajaran sama sekali belum berjalan. Kekurangan alat – alat itulah yang menghambat studi …”.
Oleh karena itu untuk menunjang lancarnya belajar siswa, maka pengadaan alat – alat pelajaran harus terusdiupaykan oleh pihak lembaga.
Bahan pelajaran yang tidak sesuai dengan kemampuan para siswa dapat menghambat belajar, maksudnya bahan pelajaran yang terlalu sukar, dan juga sebaliknya bahan pelajaran yang terlalu mudah. Bahan pelajaran yang terlalu sukar dapat menghambat kemampuan pemahaman atau penugasan bahan pelajaran. Bahan pelajara yang terlalu mudah dapt mengakibatkan kurang menarik dan cenderung disepelekan siswa, akhirnya yang mudahpun tak dikuasai.
Uraian yang telah penulis kemukakan tersebut diatas semuanya adalah faktor – faktor yang dapat menunjang dan menghambat belajar siswa baik yang berasal dari guru ataupun dari lingkungan sekolah.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah yang timbul dari kurang kontrolnya orangtua, dapat mengakibatkan gagalnya belajar siswa, sebab sekalipun kebanyakan siswa sudah memiliki keinginan untuk berdiri sendiri pengawasan yang kurang dapat menimbulkan kecenderungan tidak berarti menghambat atau menekan, akan tetapi mendorong kearah kesadaran diri.
Faktor lain adalah lingkungan masyarakat dapat menjadi penghambat belajar siswa, bila siswa dalam bergaul dimasyarakat kurang mamu mengendalikan pergaulannya (tidak mampu memilih dan memilahnya).
Disamping siswa mungkin juga banyak menggunakan waktunya untuk hal – hal tidak penting, misalnya rekreasi yang tidak terlalu sering, tidak mempunyai teman belajar bersama , siswa tidak / kurang memiliki minat, pada hal minat merupakan suatu pernyataan senang atau tidak senang seseorang terhadap sesuatu.
Pendapat tersebut diatas, mengandung arti bahwa kecenderungan orang untuk berbuat sesuatu oleh minatnya baik itu minat yang sifatnya murni (datang dari diri sendiri) maupun minat yang datang dari individu. Siswa yang belajar dirumah dan siswa yang datang kesekolah untuk belajar didorong oleh minatnya. Disini orangtua dan guru harus membantu mengembangkan minat siswa untuk belajar.











BAB III
PENUTUP
    1. KESIMPULAN
1.      Bakat merupakan faktor penunjang dan penghambat belajar siswa. Mata pelajaranyang dipelajari sesuai dengan bakatnya cenderung siswa itu berhasil meraih prestasi belajar yang baik. Sebaliknya cara mempelajari pelajaran yang kurang disadari oleh bakat, tidak begitu baik hasilnya.
2.      Motivasi dapat menghambat dan mendukung kegiatan belajar siswa, motivasi belajar yang tinggi dapat menghasilkan belajar yang baik. Sebaliknya motivasi yang rendah mengakibatkan hambatan dan rendahnya prestasi belajar siswa.
    1. SARAN
Adapun saran dari tulisan ini adalah :
1.      Kepada tenaga pengajar hendaknya  tahu apa maksud dari belajar, bakat dan inteligensi agar dalam pengelolaan belajar mengajar, pengukuran inteligensi dan mengetahui akan bakat siswa.
2.      Kepada  semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan, supaya mengembangkan pengetahuan tentang bakat, inteligensi dan belajar.











DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2007. Bakat (http://www.sipitang.com) diakses pada tanggal 25 April 2009
Anonym. 2008. Belajar. (http://id.wikipedia.org) diakses pada tanggal 25, April 2009
Anonym. 2008. Motivasi Belajar. (http://motivasibelajar. wordpress.com) diakses pada                                                      tanggal 25, April 2009
Anonym. 2009. Definisi Belajar. (http://untukmusahabatku.blogspot.com) diakses pada tanggal 25 April 2009
Ali.M, asrori. M. 2005 : Psikologi Remaja, Perkemangan Peserta Didik. Jakarta : Bumi aksara.
Purwanto Ngalim, M. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Sujanto Agus. 2006. Psikologi Umum. Surabaya: Bumi Aksara
Walgiti Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Penerbit Andi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar