Senin, 09 Januari 2012

Demi Pendidikan Mereka....

Kisah Inspiratif Mahasiswa UNM

Oleh : S.Marlina

JIka harta tak cukup untuk dibagi, maka Ilmu jadi pelabuhan terakhir untuk beramal kepada sesama…

Matahari tak menampakkan diri sore ini. Awan menghalanginya untuk memamerkan panas cahayanya. Suasana yang begitu adem untuk kota Daeng memasuki musim hujan yang biasa berakhir dengan tragedi banjir yang kian familiar. Bagi anak-anak jalanan yang berada dipemukiman kumuh Talasalapang bukan sesuatu yang istimewa. Baginya hujan dan matahari adalah putaran bumi seperti hidup manusia kadang di atas atau di bawah.

Tepatnya disebuah teras rumah panggung milik masyarakat setempat yang terbuat dari bambu. Suaranya demikian gaduh sehingga menarik perhatian bagi siapa saja yang lewat. Anak-anak jalanan itu berkumpul hendak belajar. Rumah yang menghadap ke selatan ini menjadi saksi betapa pendidikan sangat sulit dijangkau oleh mereka yang berada dibawah garis kemiskinan. Beberapa dari mereka putus sekolah karena persoalan ekonomi.

Anak-anak yang dibagi perkelompok itu berteriak meminta perhatian yang mengajarnya. Di teras rumah yang beratapkan terpal menjadi tempat menuntut ilmu. Rumah panggung yang bertiangkan bambu batang hanya berjarak satu meter dari tanah. Lantainya terbuat dari bambu yang sudah dibelah. Mayoritas bahan yang digunakan adalah bambu. Disanalah, Fatimah Az Zahrah mahasiswa Fakultas Psikologi mengemban tugas sebagai guru tanpa gaji.

Anak dari pasangan H Fathuddin dan Hj Fatmawati ini dikenal sebagai penggiat organisasi intra maupun ekstra kampus. Ia pernah menjadi anggota Maperwa Fakultas Psikologi periode 2009-2010 lalu. Dan saat ini Ia tercatat sebagi Ketua FSI Fakultas Psikologi  dan anggota Forum Lingkar Pena Makassar dan UNM. Tak hanya itu, Ia pun menjadi anggota Kitab (Komunitas Insan Pencinta Buku). Dan tahun  ini pun Rara, sapaan akrabnya merintis LSM Sahaja (Sahabat Anak Jalanan) bersama teman-temannya dari univesitas lain.

Melalui Sahaja, ia turut membagi ilmu dengan anak jalanan yang berada di Talasalapang dan Jipang. Perumahan kumuh ini menjadi sasarannya.

Kepedulian akan sesama menjadikannya sosok pribadi dengan jiwa sosial yang tinggi. Setiap Sabtu dan Ahad setelah ba’da Ashar disempatkannya untuk mengajar anak jalanan di Talasalapang dan Jipang. Beberapa dari siswanya putus sekolah karena biaya yang tak sanggup dibayarnya. Bahkan adapula siswanya yang belum menginjak bangku sekolah sama sekali.

Menjadi manusia yang bermanfaat adalah motivasi baginya untuk selalu berbagi dengan mereka yang ekonominya jauh dari rata-rata. “Hidup saya bukan untuk saya sendiri tapi untuk orang lain dan bermanfaat untuk orang lain,”ujar mahasiswa eksponen 2008 ini.

Keprihatinannya akan anak jalanan memanggilnya untuk mengajarkan berbagai hal. Di tempat yang jauh dari kata layak ini, Ia mengajar membaca, matematika dan berbagai keterampilan. Menurut Rara, mengajarinya dengan berbagai keterampilan akan memberinya ruang kepada masyarakat untuk bisa hidup. Baginya mengajar anak jalanan sama halnya dengan mengajar ditempat lain. “Butuh kesabaran,”kata Rara.

Untuk memperadakan berbagai fasilitas yang menunjang pembelajaran, Rara mengaku sangat terbantu dengan sumbangan sukarela dari masyarakat. Lanjutnya, hal seperti itu sangat diharapkan dari berbagai pihak. “Sampai saat ini masyarakat yang membantu kami dengan sumbangan berupa materi dan non materi,”ungkap mahasiswi yang hobbi membaca ini.

Perempuan yang pernah lolos sebagai dai’ muda disalah satu stasiun tv swasta ini dikenal sebagai mahasiswi yang cerdas emosional dan spiritual. Tak tanggung-tanggung ia pun kini menjadi asisten dosen di fakultas asuhan Syamsul Bahri Thalib. Bahkan mahasiswi yang pernah menginjak tanah suci Mekkah ini sangat dikagumi oleh teman seangkatannya.

Utari Dwi Sartika teman seangkatan dan organisasi, mengaku kagum dengan pribadi Rara.  Berasal dari keluarga yang berada tidak membuatnya tinggi hati bahkan tak jarang ia mengayuh sepeda ke kampus. “Orangnya sangat sederhana, kadang naik sepeda ke kampus,”jelas mahasiswa yang akrab disapa Tari.*


Cerpen Hari Ibu

Kata Maaf Untuk Bunda
Oleh : S.Marlina
Matahari makin menyengatku. Kulitku yang memang warna dasarnya kusam semakin kusam. Aku memaki matahari yang kian menyala-nyala. Ku maki manusia yang dengan sengaja mengotori lingkungan dan tidak peduli dengan dampak perbuatannya. Ya, karena perbuatan manusia yang dengan sengaja membuat alam murka. Seperti dipenghujung  tahun 2011 yang mestinya hujan malah terik luar biasa. Sungguh membuatku mengomel tak karuan.
Dengan mengendarai motor hadiah ulang tahun dari ibuku, ku susuri jalan raya Andi Pangeran Pettarani. Tenggorokanku kering, rasa haus menderaku. Belum lagi debu dan asap kendaraan mengepul membuatku sesak nafas padahal aku sudah menggunakan masker. Debu dan asap itu menyusup disela-sela kain syal yang ku gunakan sebagai penutup hidung.
Jalan poros menuju kosku cukup lengang. Ini memudahkanku untuk cepat sampai di kamar berukuran 4x3 meter yang selalu ku sebut istana kecilku. Laju motorpun kian ku percepat. Dalam perjalanan, ku rencanakan untuk segera merebahkan badanku setelah dari pagi hingga siang ini aku menggunakan energi untuk belajar.
Aku tersenyum senang mengingat tinggal satu belokan lagi akan sampai di istana kecilku. Ku bayangkan segelas air minum segera akan melegakan tenggorokanku yang kering melompong.
Ku parkir motor di halaman kosku. Ku percepat aktivitasku kemudian melangkahkan kaki menuju kamar nomor sembilan. Dengan gesit ku totolkan kunci dan membuka kamar dengan cepat. Mataku langsung tertuju ke pembaringan. Dengan segera ku tanggalkan tas ransel di punggung dan beranjak menuju pembaringan.
“aaaaahhh… mantapppp,”seruku sambil merenggangkan otot badanku.
Ku tatap langit-langit kamar. Ku pejamkan mata menerawang kampung halaman di Gowa sana. Gowa bersejarah itulah julukannya.
Belum tiga menit, suara Avril Lavigne yang ku jadikan nada dering di handponeku membuyarkan semua yang sedang menaari-nari di kepalaku. Aku bangun mencari tasku dan mengacak-acak seluruh isinya.
“Mana mi hpku kodong,”gerutuku sembari mengeluarkan isi perut tasku.
Bunda menelponku. Tiba-tiba ada sesuatu yang membakar pikiranku hingga aku hanya bisa memandangnginya bergetar dengan tatapan nanar. Perempuan yang melahirkanku kedunia ini terus saja menelponku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghempaskannya, berharap mendapatkan ketenangan. Akhhh... Ada apa denganku? Tanyaku pada hatiku yang sedang galau tak karuan.
Sudah tiga hari berlalu ketika aku kembali ke Makassar tanpa pamit dengan keluarga besarku. Masih terekam jelas bagaimana pertengkaran hebat dengan ibuku.
“Hape bagus bunda, bisa internet. Bunda, belilah untuk anakmu yang cantik ini”.  Rajutku pada ibu yang sedang duduk di teras rumah.
Pake apa dibeli? Daun? Pasti mahal harganya itu nak, jangan mi  dulu nah”
“Belikan ma kodong, semua temanku ada blackberrynya, sendiriku yang jelek hapenya. Malu-maluka bunda”
“Kenapa mesti malu, na bukan ji barang dicuri”
“Pokoknya mau ka! Pokoknya belikankan ka!” suaraku meninggi
“Tidak ada uang nak. Itu tawwa Ira tidak na bebani orang tuanya kayak kau. Baru setengah  bulan dibelikan ki motor, minta ki lagi hape baru. Tidak ada uangnya bapakmu nak”
“Tidak ada beng uangnya baru ada ji itu. Itu kak Wawan adami kerjanya masih dibelikan ji apa-apa. Mentong kita tidak mau ki na belikan. Ka bukan ka mungkin anak kandung ta jadi tidak mauki belikanka,”
Sontak ibuku kaget. Sungai-sungai kecil mengalir deras dipipinya. Tapi aku tak peduli. Aku langsung menuju kamar, ku kemas barang-barangku dan berangkat dengan motorku kembali ke Makassar sore itu. Sejak itu aku tak pernah mengangkat telpon dari ibuku dan keluarga yang lain.
Tiba-tiba suara bayi yang tertawa dari handponeku membuyarkan lamunanku. SMS dari Tina.
Dira, mamax Ajeng kecelakaan. Katax parah. Skrg ada  dRS Bhayangkara. Mw kesana? Kalo mw lgsg mnuju RS aja krn anak2 yg lain pada jln ksana mi jg.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung memasukkan kembali isi tasku dan menyambar kunci motor yang tergeletak di lantai. Dalam perjalanan, pikiranku terus saja mengingat ibunya Ajeng yang berasal dari tanah Jawa. Seorang Ibu yang jago buat kue Bahkan dia sering mengirimiku dan teman-teman sekelasku kue hasil percobaannya. Ibu yang baik, pikirku.
Aku tiba di rumah sakit dan langsung menuju UGD. Nampak Tina dan beberapa teman sekelasku berdiri sedang menunggu. Aku menghampiri mereka. Tina langsung memelukku.
“Ta... nte Cc..cia, tante Cia meninggal Dir”. Tina menangis memelukku.
Kalimat itu bagai halilintar menyambarku. Badanku lemas. Serasa tidak ada tulang dalam tubuhku. Aku berusaha keras tidak menangis tapi air mataku jatuh perlahan membasahi pipiku. Ku lepaskan pelukan Tina. Ku kuatkan diri dan melangkah menyibak tirai putih sebagai pembatas antar pasien dalam ruangan UGD.
Kulihat mayat ditutupi dengan kain putih dikelilingi oleh sanak famili yang menahan tangis, memasang wajah tegar. Wajah sedih terpampang. Suara sesegukan menahan tangis sesekali terdengar. Ajeng berada di samping mayat ibunya. Membenamkan seluruh wajah di badan ibunya.
“Ma, kenapa mama ninggalin Ajeng? Jawab ma!!!!” Ajeng menggoyang-goyangkan mayat ibunya.  Beberapa orang mencoba menenangkannya namun hasilnya nihil.
“Ma, tolong jangan tinggalin Ajeng. Ajeng gak mau mama ninggalin Ajeng. Tuhan, tolong kembaliin mama Ajeng. Tolong Tuhan” Ratapan Ajeng membuat semua orang mendengarnya tertegun. Suaranya serak. Nafasnya tak beraturan.
“Mama, maafin Ajeng ma. Ajeng belum sempat membuat mama bahagia. Maafin Ajeng.” Ajeng makin larut dalam kesedihan. Ratapannya membuat orang-orang disekelilingnya kesulitan menahan tangis. Satu persatu keluarganya tumbang dalam tangisan
Seluruh badanku bergetar, bulu kudukku berdiri. Serasa kulitku makin dingin dengan AC yang terpampang tepat disebelah kiriku.
 “Bunda,” desahku
Tanpa berpikir panjang aku meninggalkan rumah sakit tanpa pamit dengan yang lain. Aku hanya menganggukan kepala kepada Tina dan berlalu menuju parkiran. Pikiran terus saja tertuju pada mayat ibu Ajeng di rumah sakit. Bagaimana jika aku ada di posisisnya. Aku tak bisa membayangkannya.
Aku berhenti di pinggir jalan. Ku atur panggilan keluar. Bunda. Aku menelponnya. Beberapa detik. Tidak ada yang angkat. Ku telepon berulang-ulang hingga akhirnya aku menyerah dan memutuskan melajukan motorku menuju kos. Aku tergesa-gesa hingga semua penghuni kos mengarahkan pandangannya kepadaku. Aku tak peduli.
Aku langsung masuk kamar. Pulang kampung. Itu yang ku inginkan sekarang, bertemu dan meminta maaf kepada Bundaku.
Aku selesai memasukkan barang seadanya kedalam ransel.  Jantungku seperti berpacu dengan waktu. Aku ngos-ngosan tapi aku tak peduli. Ku matikan aliran listrik dikamarku dan melangkah keluar. Belum sampai di parkiran, sosok yang ingin ku temui malah berjalan masuk sambil menyapa penghuni kosku. Bunda. Apakah itu benar bunda? Apa aku berhalusinasi? Aku mencubit lenganku mencoba memastikan kalau aku tidak bermimpi. Rasanya sakit. Aku tidak bermimpi.
“Bunda” teriakku memanggilnya
Bunda tersenyum dan menghampiriku
“Sayang, mau kemana?”
Aku mengelengkan kepala.
“Bunda minta maaf. Sebentar kita pergi beli hape yang Dira mau” ucap bunda menatapku teduh. Aku masih diam tertegun menatap wanita pilihan ayahku.
“Jangan ki marah terus, khawatir ka kodong sama putri bunda yang cantik.  Bunda akan belikan ki hape baru jadi jangan mi marah lagi nah”
“Jangan mi bunda. Tidak butuh ka blackberry. Bunda ji yang ku butuhkan” Ucapku serak
Ibu langsung memelukku. Bulir-bulir kristal mengalir dipipiku. Tangannya membelai pundakku dengan lembut. Rasanya begitu hangat dan damai.
Tuhan, aku bersyukur dengan semua yang nikmat yang engkau berikan selama ini. Terima kasih memberikanku banyak keindahan hingga aku bisa bertahan sejauh ini. Terima kasih memberiku cinta yang begitu besar. Terima kasih memberiku ibu yang mencintaiku demikian dalam. Terima kasih untuk semua hal indah yang kau berikan. Panjangkanlah umur bundaku. Maafkan aku yang lalai dan lupa bersyukur atas nikmatmu. Batinku.
Ku lepaskan pelukan ibu dan merogoh saku. Ku ketik pesan singkat di handpone. Ku perlihatkan pada ibuku. Dia tersenyum  dan kembali merengkuhku dalam pelukannya.
“Selamat hari ibu bunda,”. Ucapku mempererat pelukannya.