Angin masih saja memainkan anak rambutku yang menyelinap keluar dari
jilbabku. Jendela angkutan umum yang lebih dikenal dengan pete-pete di Kota
Anging Mammiri. Tidak ada yang spesial hari ini, semuanya berbalut mendung
seperti langit Makassar yang beratap kabut gelap yang bergelantungan di langit.
Hatiku pun sama, kabut gelap itu menghiasi hariku ini.Tapi beruntunglah hujan tidak mengantarku hari ini.
Aku menunggu berjuta jawaban atas pertanyaan dalam hatiku. Masihkah
cinta? Masihkan sayang? Bagaimana bisa begitu? Kenapa bisa? Oh… pertanyaan ini
mengulang terus di otakku. Tanpa sadar sebutir air mengalir di wajahku. Tanpa ku
sadari. Secepat mungkin aku menghapusnya sebelum tampak oleh seorang bapak yang
memangku tasnya duduk tepat di hadapanku. Aku menoleh kebelakang tanpa sadar
kaca belakang pete-pete ini ternyata transparan. Ku palingkan wajah dan
menunduk sembari meletakkan ujung jariku diujung mataku.
Mataku memang sembab karena menahan tangis. Aku berulang kali ingin
menangis tetapi hatiku tak rela jika harus menangisinya. Menangisi lelaki yang
mungkin sekarang bahkan tak mengingatku sama sekali. Ku tahan duka ini seorang
diri tanpa siapapun. Aku menelan kepahitan ini tanpa kerelaan.
Peristiwa demi peristiwa telah kami lalui berdua hingga kini,
bertahun-tahun kami menjalin hubungan. Tetap saja kami tak bisa lari dari
kenyataan bahwa cinta kita terhalang restu orang tuanya. Ya… itulah polemik yang
bahkan aku sendiri tidak tahu apa jalan keluarnya. Sesak mengingatnya.
Mengingat bahwa ada hal yang menghalangi yang tidak bisa kami lalui, itulah
yang bernama restu. Hubungan yang kami bangun berlandaskan cinta ini mesti
terputus oleh restu yang tak kunjung tiba. Takdir mungkin tak membelai kisah
kami berdua. Hubunganpun makin jauh.
Kini, kisah itu ada diantara kisah harapan lain yang ditulis oleh
sebagian orang. Seperti kita yang menjalaninya. Tetapi seberapa kuatpun
cintamu, restu orang tua menjadi yang utama untuk berangkat.
Suara hiruk pikuk lalu lintas hari ini mengembalikanku dari dunia
lamunan. Ku hela nafas pelan. Mataku perih menahan racun di mataku yang
mestinya tumpah tapi ku tahan sedari malam tadi.
Lelakiku… Masihkah kita bertahan diantara jutaan kisah tak direstui di
bumi ini? Seberapa kuatkah kita bertahan dengan komunikasi berbatas waktu yang
menelan rasa rindu?
Batinku menjerit. Hatiku bagai terkoyak. Kau makin jauh dan kisah ini
sepertinya akan tertelan waktu pula.
“Mbak, Jl. Adyaksa-nya di dalam ya?”, pertanyaan supir pete-pete
membelah pikiranku
“Di luar saja di Jl.Hertasning pak, tidak apa-apa,” jawabku sembari
menelan liur rasa hausku.
Akhirnya aku sampai ditujuanku, sejenak lupa bahwa aku sedang menghadapi polemik tentang calon imamku.
Bersambung...
Penulis: Sitti Marlina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar