Jumat, 10 Januari 2014

DI BELAHAN DUNIA LAIN

Angin masih saja memainkan anak rambutku yang menyelinap keluar dari jilbabku. Jendela angkutan umum yang lebih dikenal dengan pete-pete di Kota Anging Mammiri. Tidak ada yang spesial hari ini, semuanya berbalut mendung seperti langit Makassar yang beratap kabut gelap yang bergelantungan di langit. Hatiku pun sama, kabut gelap itu menghiasi hariku ini.Tapi beruntunglah hujan tidak mengantarku hari ini.

Aku menunggu berjuta jawaban atas pertanyaan dalam hatiku. Masihkah cinta? Masihkan sayang? Bagaimana bisa begitu? Kenapa bisa? Oh… pertanyaan ini mengulang terus di otakku. Tanpa sadar sebutir air mengalir di wajahku. Tanpa ku sadari. Secepat mungkin aku menghapusnya sebelum tampak oleh seorang bapak yang memangku tasnya duduk tepat di hadapanku. Aku menoleh kebelakang tanpa sadar kaca belakang pete-pete ini ternyata transparan. Ku palingkan wajah dan menunduk sembari meletakkan ujung jariku diujung mataku.

Mataku memang sembab karena menahan tangis. Aku berulang kali ingin menangis tetapi hatiku tak rela jika harus menangisinya. Menangisi lelaki yang mungkin sekarang bahkan tak mengingatku sama sekali. Ku tahan duka ini seorang diri tanpa siapapun. Aku menelan kepahitan ini tanpa kerelaan.

Peristiwa demi peristiwa telah kami lalui berdua hingga kini, bertahun-tahun kami menjalin hubungan. Tetap saja kami tak bisa lari dari kenyataan bahwa cinta kita terhalang restu orang tuanya. Ya… itulah polemik yang bahkan aku sendiri tidak tahu apa jalan keluarnya. Sesak mengingatnya. Mengingat bahwa ada hal yang menghalangi yang tidak bisa kami lalui, itulah yang bernama restu. Hubungan yang kami bangun berlandaskan cinta ini mesti terputus oleh restu yang tak kunjung tiba. Takdir mungkin tak membelai kisah kami berdua. Hubunganpun makin jauh.

Kini, kisah itu ada diantara kisah harapan lain yang ditulis oleh sebagian orang. Seperti kita yang menjalaninya. Tetapi seberapa kuatpun cintamu, restu orang tua menjadi yang utama untuk berangkat.

Suara hiruk pikuk lalu lintas hari ini mengembalikanku dari dunia lamunan. Ku hela nafas pelan. Mataku perih menahan racun di mataku yang mestinya tumpah tapi ku tahan sedari malam tadi.

Lelakiku… Masihkah kita bertahan diantara jutaan kisah tak direstui di bumi ini? Seberapa kuatkah kita bertahan dengan komunikasi berbatas waktu yang menelan rasa rindu?

Batinku menjerit. Hatiku bagai terkoyak. Kau makin jauh dan kisah ini sepertinya akan tertelan waktu pula. 

“Mbak, Jl. Adyaksa-nya di dalam ya?”, pertanyaan supir pete-pete membelah pikiranku
“Di luar saja di Jl.Hertasning pak, tidak apa-apa,” jawabku sembari menelan liur rasa hausku. 

Akhirnya aku sampai ditujuanku, sejenak lupa bahwa aku sedang menghadapi polemik tentang calon imamku.

Bersambung... 

Penulis: Sitti Marlina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar