Selasa, 20 November 2012

Cerpennya Siswakooeee

Mempublish ini bukanlah tanpa alasan, salah satunya karena mereka ingin punya karya yang dipamerkan kepada orang lain...
THE FIRST
By: Iin Restiani

    Dingin angin malam merasuk, menusuk hingga pori-pori. Nyamuk-nyamuk menyebalkan terbang kesana kemari, mendengung di telinga manusia yang terlelap tak berdaya. Mereka terlelap tak berdaya. Terlena, tenggelam dalam hangatnya selimut. Terbuai bermesraan dalam mimpi masing-masing.
    Hujan telah reda, sejam yang lalu. Ku rebahkan tubuhku di atas dipan tua ini. Ku renggangkan otot-ototku, saraf-sarafku butuh istirahat tapi mataku tak jua terlelap. Entah mengapa rasa gelisah menyelimuti hatiku, perasaanku berkecamuk tak karuan. Aku tidak tahu rasa apa ini? Rasa yang begitu aneh membuat dadaku terasa sesak.
    Aku beranjak meninggalkan dipan lusuh ini. Ku langkahkan kakiku ke arah komputer yang menyala sejak tadi. Ku gerakkan jari jemari di atas keyboard dan mulai mengetik huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat dan akhirnya menjadi sebuah paragraf. Namun, rasa gelisah masih saja menyelimuti hatiku.
    Jarum jam menindih pukul 06.50. mentari mulai memancarkan sinarnya, menyapa, menerangi jagat raya dan seluruh isinya. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi. Pagi yang cerah, menambah keindahan kota malang.
    Embun pagi menerpa wajahku dengan lembut. Dingin kota malang terasa hingga sum-sum tulang. Suasana kampus masih terlihat sepi. Ku langkahkan kakiku melewati trotoar ruang perpustakaan. Aku tidak mau melewatkan mata kuliah psikologi pagi ini, dan tak akan lama lagi kuliahku selesai dan menyandang predikat sarjana muda. Jadi, tak ada waktu untuk bermalas-malasan, apa lagi mengingat orang tuaku susah payah untuk membiayai kuliahku.
    Aku satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Kakakku yang sulung sudah menikah, sementara adikku masih duduk di bangku SMP. Akulah satu-satunya harapan ayah dan ibu saat ini.
Aku bukanlah anak yang terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan. Itulah kenapa aku sangat berhati-hati memilih teman. Apalagi sekarang aku hidup di kota metropolitan yang semakin hari semakin berkembang. Aku tidak mau terjerumus ke dalam perbuatan atau hal-hal yang bersifat negatif.
     Hari semakin siang, terik matahari semakin garang dan tak bersahabat. Mata kuliah telah usai. Aku berjalan melewati koridor dan gedung-gedung kampus untuk mencapai rumah Allah. Lantunan ayat suci Al Qur’an mengalun merdu dari radio mushallah. Mahasiswa berbondong-bondong ke masjid untuk melaksakan sholat dzuhur berjamaah. Suara adzan berkumandang menyeru, mengajak orang-orang untuk menunaikan kewajibannya, beribadah kepada Sang Khalik.


      
         Jarum jam menunjukkan 14.10. aku duduk di bawah pohon beringin berdaun rindang ini. Ku pandangi sekelilingku, orang-orang sekitarku sibuk dengan urusan masing-masing. Aku berdiam diri, hanya pohon berukuran raksasa ini yang masih setia menemaniku. Pandanganku tertuju pada dua sejoli yang sedang bercengkrama dikejauhan sana. Melihatnya, seperti sepasang kekasih. Terbersit rasa iri dan cemburu dih hatiku. Aku teringat pada seseorang yang beberapa hari ini menyisakan beribu pertanyaan dibenakku.
         Di bawah pohon ini, aku mendengarkan muusik melalui earphoneku ketika seorang gadis didepanku. Dia tersenyum padaku. “Subuhanallah,”batinku dalam hati. Baru kali aku melihat senyum semanis itu. Senyuman yang begitu menawan. Setiap jam mata kuliah, diam-diam aku selalu mengawasinya dari kejauhan.
          Hari ini aku menantinya. Sosok yang tidak aku kenal sama sekali. Siapa namanya? Dari mana asalnya? Aku tak tahu, tapi dorongan hati yang membuatku masih tetap menantinya, pujaan hati diam-diam.
         Sudah seperempat jam aku duduk di tempat ini. Namun aku belum juga melihatnya. Aku berusaha menyakinkan hatiku. Dan, perasaanku semakin tidak menentu. Apakah dia pemilik senyum yang menawan itu yang membuat hatiku gelisah malam tadi seperti saat ini? Aaah... entahlah. Aku sudah terlalu risih untuk memikirkannya. Sosok dirinya selalu hadir dalam benakku, senyumannya, wajahnya, yang begitu lugu membuatku semakin penasaran. Siapa gerangan gadis yang telah menyita waktuku?
     Mataku terpanah, jantungku berdegup kencang. Sosok dirinya kini hadir dalam pandanganku. Dadaku terasa sesak menatap senyuman itu. “Subuhanallah,” batinku. “Betapa manisnya senyuman itu,” hatiku berkata siring senyum lugas yang ku tampakkan.
      Namun, semua itu tiada arti lagi. Bibirku terdiam, keringat dinginku bercucuran, tubuhku kaku mematung, hatiku sakit seperti teriris sembilu. Seorang lelaki menghampirinya, membelai lembut rambut hitamnya dengan mersa. Mengecup keningnya penuh kasih sayang. Tersirat kebahagian di wajahnya ketika lelaki itu menggandeng tangannya. Terbersit cemburu yang menggunung di hatiku, ketika aku tahu ikatan pernikahan telah menghalalkan mereka.